Tuberkulosis merupakan infeksi akibat bakteri yang sering menyerang
pasien HIV/AIDS (ODHA). Menurut WHO TB adalah penyebab utama kematian
pada pasien ODHA. Pengobatan kasus TB-HIV sama dengan pasien TB tanpa
koinfeksi yaitu dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) pada tahap
intensif dan lanjutan, setelah itu diberikan ARV (Anti Retroviral) untuk mengobati
HIV pasien. Pengobatan TB merupakan prioritas utama, sehingga pemberian ARV
tidak boleh mengganggu pengobatan TB. Berdasarkan penelitian sebelumnya
didapatkan hasil yaitu pada pasien TB - HIV, hepatotoksik akibat OAT
menyumbang sejumlah (11,5%) kasus. (93,9%) kejadian hepatotoksik terjadi pada
pengobatan fase intensif. Hepatotoksik adalah suatu kondisi dimana sel hati rusak
oleh bahan kimia beracun yang mengakibatkan kerusakan hati yang meluas
(Ardiani & Azmi, 2021). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kejadian
hepatotoksik pada pasien Tuberkulosis paru dengan HIV/AIDS di RSUP Dr.
Kariadi Semarang.
Jenis Penelitian adalah observasional deskriptif dengan pendekatan cross
sectional. Lokasi penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan melihat data
sekunder melalui Instalasi Rekam Medis pada bulan Januari – Desember 2020.
4 dari 8 pasien mengalami kejadian hepatotoksik, yaitu pada fase intensif
sejumlah 25% SGOT dan 25% SGPT mengalami hepatotoksik sangat berat serta
sejumlah 25% SGOT dan 13% SGPT mengalami hepatotoksik ringan, pada fase
lanjutan sejumlah 33% SGOT dan 33% SGPT mengalami hepatotoksik berat dan
pada pengobatan ARV sejumlah 33% SGOT dan 33% SGPT mengalami
hepatotoksik sedang.
Kesimpulan penelitian didapatkan 4 dari 8 pasien mengalami kejadian
hepatotoksik yang dilihat berdasarkan kadar SGOT dan SGPT, semakin rutin pasien
menjalani pengobatan OAT/ARV kejadian hepatotoksik pada pasien cenderung
menurun yang ditandai dengan menurunnya kadar SGOT dan SGPT pasien
tersebut.
Source: Abstract