Latar Belakang : Ketidaktepatan pemberian kode diagnosis penyakit akan memengaruhi data dan informasi dalam pelayanan kesehatan serta menurunkan mutu pelayanan. Di Puskesmas Rowosari, tidak dilakukan proses kodefikasi, diagnosa yang diinputkan oleh dokter langsung memunculkan kode penyakit dan tindakan. ISPA masuk dalam 10 besar penyakit pada Februari 2024, namun keakuratan kodefikasi ISPA belum optimal. Salah satunya pada rekam medis Pasien X, kode ISPA tidak akurat karena hanya mencakup 3 karakter tanpa karakter ke-4 sesuai buku ICD 10 yang menjadi pedoman. Tujuan : Mengetahui unsur 5M penyebab keakuratan kode penyakit ISPA pada pasien X di Puskesmas Rowosari. Metode : Pengumpulan data dalam studi ini melibatkan wawancara dengan koder untuk mendapatkan informasi dari informan PMIk dan dokter, observasi langsung proses pengkodean penyakit untuk, dan telaah dokumen rekam medis untuk menilai keakuratan kodefikasi penyakit dan memastikan informasi yang tepat terkait kondisi pasien. Hasil : Puskesmas Rowosari tidak mengadakan proses kodefikasi penyakit, dan petugas yang melakukan kodefikasi tidak berlatar pendidikan D3 RMIK. Dokter tidak pernah mengikuti pelatihan atau seminar kodefikasi SIMPUS mengharuskan dokter yang melakukan kodefikasi penyakit. Meskipun SIMPUS digunakan untuk pengkodean, belum ada SOP khusus untuk prosedur tersebut, dan anggaran untuk pelatihan atau insentif masih belum dialokasikan. Kesimpulan : Ditinjau dari aspek 5M, yang paling mempengaruhi kodefikasi penyakkit hal yang paling mempengaruhi adalah dari aspek sarana dan prasaran yaitu SIMPUS yang tidak menyediakan kolom kodefikasi untuk diisi PMIK dan juga prosedur kebijakan yang meniadakan jobdesc kodefikasi untuk PMIK.
Source: Abstract