Detail Cantuman

No image available for this title

Tugas Akhir DIII

PENGELOLAAN KEPERAWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA Tn.B DENGAN POST ORIF INDIKASI FRACTURE MALUNION CRURIS DEKSTRA 1/3 TENGAH DI BANGSAL F RSU TIDAR MAGELANG

XML

Susunan tulang atau skelet ( kerangka ) merupakan salah satu unsure sistem penegak dan penggerak. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, yang terbagi dalam empat kategori, yaitu tulang panjang ( misal: femur ), tulang pendek ( misal: tulang tarsalia ), tulang pipih (misal: sternum), dan tulang tak teratur ( misal: vertebra ). Bentuk dan konstruksi tulang tertentu ditentukan oleh fungsi dan gaya yang bekerja padanya ( Smeltzer, 2002 ). Sistem muskuloskeletal tersusun oleh berbagai macam struktur yang bekerja untuk menciptakan gerakan, menyokong, dan melindungi organ tubuh.
Trauma langsung pada system muskuloskeletal dapat menyebabkan memar, kontusio, salah urat dan fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang. Fraktur biasa terjadi karena trauma langsung eksternal, tetapi dapat juga terjadi karena deformitas tulang ( misal: fraktur patologis karena osteoporosis, penyakit Piaget, dan osteogenesis imperfekta ) ( Potter, P. A. & Perry, A. G, 2005 ). Menurut Mansjoer ( 2000 ), fraktur dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga ( misal: kecelakaan lalu lintas ).
Setiap tahun, 60 juta penduduk di Amerika Serikat mengalami trauma dan 50 % memerlukan tindakan medis, 3,6 juta ( 12 % dari 30 juta ) membutuhkan perawatan di rumah sakit. Di dapatkan 300 ribu orang diantaranya menderita kecacatan yang bersifat menetap ( 1 % ) dan 8,7 juta orang menderita kecacatan sementara ( 30 % ). Keadaan ini dapat menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang per tahun( 0,5 % ). Di Indonesia, kematian akibat kecelakaan lalu lintas ± 12.000 orang per tahun (Rasjad, 2003).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami hambatan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur. Pada tahun yang sama di Rumah Sakit Umum di Jawa Tengah, tercatat terdapat 676 kasus fraktur dengan rincian 86,2% fraktur jenis terbuka dan 13,8% fraktur jenis tertutup, 68,14% jenis fraktur tersebut adalah fraktur ekstremitas bawah.
Berdasarkan hasil penelitian di ruang bedah, dari 150 klien post operasi fraktur selama 1 tahun di tahun 2011, terdapat 30 klien yang mengalami hambatan mobilitas fisik dan yang dilakukan latihan ROM aktif pada hari pertama. Berdasarkan data RSU Tidar Kota Magelang tahun 2013 untuk rawat inap dari 168 kasus fraktur, didapatkan data 10 orang ( 5,95 % ) mengalami fraktur leher, toraks atau panggul, 8 orang ( 4,76 % ) mengalami fraktur tengkorak dan tulang muka, 41 orang ( 24,4 % ) mengalami fraktur
paha, 107 orang ( 63,69 % ) mengalami fraktur tulang anggota gerak lainnya, serta 2 orang ( 1,19 % ) mengalami fraktur meliputi daerah badan multipel. Sehinggga dapat disimpulkan bahwa fraktur ekstremitas bawah menduduki peringkat dua dari kasus yang ada.
Menurut Mansjoer ( 2000 ), penatalaksaan pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif selamanya tidak absolut. Secara konservatif yaitu dengan proteksi, imobilisasi tanpa reposisi, reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, dan traksi. Secara operatif dengan reposisi terbuka dan tertutup. Harnowo, Sapto & Fitri H. Susanto ( 2001 ) menyatakan bahwa prinsip – prinsip tindakan terhadap fraktur adalah reduksi, imobilisasi, dan peningkatan kembali fungsi dan kekuatan normal melalui rehabilitasi.
Dari penatalaksanaan tersebut, akan mengakibatkan hambatan mobilitas fisik. Mobilisasi mengacu kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Faktor yang menyebabkan hambatan mobilitas fisik yaitu proses penyakit dan injury, gaya hidup, tingkat energy, serta usia dan status perkembangan. Apabila adanya hambatan mobilitas fisik, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi hambatan. Tingkat keparahan dari hambatan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami ( Potter, P. A. & Perry, A. G, 2005 ).
Dampak jika hambatan mobilitas fisik yang tidak ditangani yaitu terjadi gangguan pada sistem tubuh. Salah satunya mengalami hambatan sistem muskuloskeletal. Otot akan kehilangan daya tahan, mengalami penurunan masa otot, atrofi dan mengalami penurunan stabilitas, sedangkan pada skelet akan terjadi hambatan metabolism kalsium dan hambatan mobilisasi sendi ( Potter, P. A. & Perry, A. G, 2005 ). Hal tersebut bersifat sementara. Salah satu solusi untuk menangani hal tersebut yaitu dengan latihan rentang gerak spesifik pada ekstremitas bawah, sedangkan yang bersifat permanen yaitu pada kasus amputasi, yang dianggap sebagai jenis pembedahan rekonstruksi drastis. Kehilangan ekstremitas memerlukan penyesuaian besar. Klien harus menyesuaikan diri dengan adanya perubahan citra diri permanen. Aktivitas kehidupan sehari – hari juga berubah dan perlu belajar bagaimana menyesuaikan aktivitas dan lingkungan untuk mengakomodasikan diri dengan penggunaan alat bantu dan bantuan mobilitas ( Smeltzer, 2002 ).
Untuk perawatan pasca bedah, dapat dilakukan latihan untuk mencegah otot yang tidak digunakan secara berlebihan, atrofi, dan kontraktur sendi. Hal ini yang menarik untuk diangkat, membantu klien melakukan latihan rentang gerak pasif ( klien tidak dapat menggerakkan dengan mandiri dan perawat menggerakkan setiap sendi dengan rentang gerak ) maupun latihan rentang gerak aktif ( klien menggerakkan semua sendinya dengan rentang gerak tanpa bantuan ) agar klien dapat kembali melakukan aktivitas normal secara bertahap ( Potter, P. A. & Perry, A. G, 2005 ).


Informasi Detail

Pernyataan Tanggungjawab
Sunarko, S. Pd, M. Med. Ed
Pengarang
Bety Awanda Frista - Pengarang Utama
NIM
P 17420511050
Bahasa
Indonesia
Deskripsi Fisik
Cover merah hati, 19x27 cm.
Dilihat sebanyak
300
Penerbit Prodi D3 Keperawatan Magelang : Magelang.,
Edisi
Subjek
Klasifikasi
LK-882

Lampiran Berkas

Citation
Bety Awanda Frista. (2014).PENGELOLAAN KEPERAWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA Tn.B DENGAN POST ORIF INDIKASI FRACTURE MALUNION CRURIS DEKSTRA 1/3 TENGAH DI BANGSAL F RSU TIDAR MAGELANG().Magelang:Prodi D3 Keperawatan Magelang

Bety Awanda Frista.PENGELOLAAN KEPERAWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA Tn.B DENGAN POST ORIF INDIKASI FRACTURE MALUNION CRURIS DEKSTRA 1/3 TENGAH DI BANGSAL F RSU TIDAR MAGELANG().Magelang:Prodi D3 Keperawatan Magelang,2014.Tugas Akhir DIII

Bety Awanda Frista.PENGELOLAAN KEPERAWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA Tn.B DENGAN POST ORIF INDIKASI FRACTURE MALUNION CRURIS DEKSTRA 1/3 TENGAH DI BANGSAL F RSU TIDAR MAGELANG().Magelang:Prodi D3 Keperawatan Magelang,2014.Tugas Akhir DIII

Bety Awanda Frista.PENGELOLAAN KEPERAWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA Tn.B DENGAN POST ORIF INDIKASI FRACTURE MALUNION CRURIS DEKSTRA 1/3 TENGAH DI BANGSAL F RSU TIDAR MAGELANG().Magelang:Prodi D3 Keperawatan Magelang,2014.Tugas Akhir DIII



Dirujuk oleh 0 dokumen